DELI SERDANG – Mengurus sertifikat tanah wakaf gampang. Hal terpenting untuk mengurusnya yakni ada kemauan.
Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Asnaedi saat menyerahkan 6 sertifikat tanah wakaf di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (16/5/2024).
Asnaedi mengimbau para penerima sertifikat yang hadir turut mensosialisasikan program sertifikasi tanah wakaf.
“Mohon disampaikan kepada yang lain juga yang belum mengurus (sertifikat, red), disampaikan bahwa tidak sulit mengurus sertifikat wakaf, semuanya gampang, yang penting ada kemauan, pasti bisa,” imbaunya, dikutip dari Kementerian ATR/BPN.
Asnaedi menekankan, penyertifikatan tanah wakaf dan rumah ibadah merupakan upaya agar masyarakat dapat beribadah dengan tenang.
Selain itu, wujud bahwa seluruh tanah di Indonesia harus tersertifikat.
“Kita harus aktif untuk menyampaikan ke yang mengurus atau pengurus rumah ibadah. Karena hati-hati, Pak, kalau tanah Tuhan saja kita tidak sertifikatkan, ya, bagaimana tanah masyarakat?” papar Asnaedi.
Sementara itu, persyaratan yang ditentukan Kementerian ATR/BPN dalam proses pembuatan sertifikat tanah merupakan upaya agar kekuatan legalitas hak atas tanah yang dihasilkan lebih terjamin.
Dengan kekuatan tersebut, jika suatu saat ada gugatan maka keamanan sertifikat tidak mudah untuk dipatahkan.
“Jadi, memang sertifikat kalau gampang alas haknya itu biasanya kekuatannya agak rendah. Jadi, semakin kuat alas haknya, tidak gampang dipatahkan pada saat ada gugatan. Persepsi masyarakat di luar tentang BPN itu, susah, harus begini, harus begitu. Padahal itu demi menjaga supaya kekuatan legalitas dari tanahnya itu lebih kuat. Supaya tidak bisa dipatahkan orang lain,” jelas Asnaedi.
Pembuatan sertifikat tanah wakaf pun menjadi salah satu prioritas dari Kementerian ATR/BPN.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk pembuatan sertifikatnya.
“Yang penting sudah ada masjidnya di situ, ada gerejanya di situ, sudah dipakai. Berarti itu sudah 50 persen bisa diberikan. Karena asas kita mengatakan asas penguasaan dan kepemilikan. Bukan kepemilikan dan penguasaan. Jadi kalau kita sudah kuasai, sudah punya tanahnya, tidak ada orang lain yang kuasai, berarti kita sudah 50 persen punya kita. Nah tinggal dibuat legalitasnya,” lanjut Asnaedi. (a1)